Kedekatan saya dengan gus Dur diawali sekitar tahun
1983. Ia sering datang kerumah, dan berbincang-bincang dengan santai dan
familiar. Gus Dur berbicara dengan sangat bebas dan terbuka dengan tanpa ada
tirai sedikit pun. Itu berjalan hampir kurang lebih tujuh tahun, ketika Gus Dur
masih banyak waktu. Namun, saat kesibukannya mulai banyak, ia mulai jarang
datang.
Selama pergaulan
itu, saya melihat pemikiran dan sikap Gus Dur sama seperti umumnya kiai-kiai
pesantren. Gus Dur , kalau menurut ukuran santri, sebenarnya tidak ada yang
terlalu nyeleneh, biasa saja.pemikiran-pemikirannya biasa, dan hanya meneruskan
tradisi-tradisi yang sudah ada di pesantren.karena Gus Dur memang datang dari
latar belakang yang khas (pesantren). akibatnya ketika orang luar pesantren
menilai Gus Dur- tanpa memahami dunia pesantren-sering kali jatuh pada
kesimpulan nyeleneh. Misalnya, tentang ide pribumisasi Islam. Ide itu
sebenarnya sesuai dengan kebiasaan NU yang mewarisi tradisi walisongo. Lalu,
pribumisasi Islam ini menjadi ide besar Gus Dur. Inilah yang saya maksud, bahwa
pemikiran Gus Dur itu biasa dan memang sudah ada sebelumnya.
Saya paham,
karena Gus Dur datang dari pesantren, maka basic pemikirannya pun pasti datang
dari tradisi pesantren. bisa dikatakan, Gus Dur itu merupakan cerminan jiwa
santri. Namun, karena Gus Dur banyak bergumul dengan literature Barat ketika di
Mesir dan di Baghdad, maka beda dengan santri biasa. Sebagaimana dengan yang
diakui Gus Dur sendiri, sejak kecil dia sudah biasa mempelajari filsafat, dan
ketika berumur 16 tahun, ia sudah khatam membaca Des capital. Jadi pada
dasarnya, pemikiran Gus Dur ber-basic pesantren, baru pada tahap
pengembangannya menyerap unsur pemikiran Barat.
Dalam hal ini,
Gus Dur pernah mengakui, sewaktu ICMI baru akan dibentuk, Nurcholis Madjid
mengajaknya masuk kedalam ICMI, tetapi Gus Dur menolak dengan alasan
sektarianisme. Dalam obrolan teman-teman ICMI, “kalau Gus Dur tidak masuk ICMI,
Gus Dur akan kehilangan basis intelektualnya.”Gus Dur segera menimpali, “sejak
kapan ICMI menjadi basis intelektual saya, basis intelektual saya itu di
pesantren, kiai pondokan, sekali lagi bukan di ICMI.” Pada kesempatan lain, Gus
Dur juga mengakui bahwa “saya ini kiai pesantren”. dari situ jelas bahwa Gus
Dur adalah santri yang punya kerangka dan wawasan yang punya kerangka dan
wawasan yang bisa mengemas pesantren sesuai selera kontemporer (kontekstual).
Nah, begitulah Gus Dur.
Di samping itu,
Gus Dur juga sosok yang luar biasa, bukan dalam arti bersetatus wali , tapi
lebih pada sikap bijaksana, super. Bagi orang yang menganggap waki, itu
terserah. Sebab tergantung siapa yang menilai. Dengan Gus Dur sebagai tokoh
agama, banyak orang lantas lebih bersikap husnu al-dhan (prasangka baik)dari
pada su’u al-dhan (prasangka buruk) dalam menilai. Dari husnu al-dhan ini,
segala macam sikap dan perbuatanGus Dur selalu diterma tanpa berusaha
mengkritisinya lebih dulu. Ketika ada yang berusaha melakukan reaksi (kritik),
dari tindakan yang dilakukan Gus Dur, ternyata-setelah sya kejar-kejar untuk
mendapat jawabannya- reaksi itu hanya sebatas pada tataran teknis aplikatif,
yang dianggapnya terlalu sulit, mengawang-awang. Bukan pada aras substansi
pemikiran Gus Dur. Malah kalau ada kesempatan berdialog dengan Gus Dur bisa
jadi sikap kontra itu berubah menjadi pro, pengikut setia. Lagi-lagi, bukan
pada substansi pemikiran, tapi mungkin juga lebih pada kepentingan politik
semata.
Akan tetapi,
dalam hal-hal tertentu yang para kiai belum paham setelah mendapatkan
penjelasan dari Gus Dur, mereka jadi legowo. Meski begitu banyak pula kiai yang
berusaha mengkritik Gus Dur. Kayak Kiai Musthofa Bisri yang kerap melontarkan
kritik pada rapat-rapat tertutup PBNU, atau kiai-kiai sepuh dalam
obrolan-obrolan terbuka. “anu loh Gus, jalannya jangan cepat-cepat, kami tidak
bisa mengikuti,” begitu kritik kiai sepuh. Dikritik begitu, gus Dur menjawab ,
“secepat-cepatnya saya kan masih muda , kalau pak kiai kan sudah
tua.’kritikan-kritikan tersebut sebenarnya tajam , tapi caranya yang beda dan
lebih halus. Belum lagi didukung oleh suatu factor, bahwa sesungguhnya para
kiai sangat husnu al-dhan terhadap Gus Dur, karena ia cucu dari Hadaratus
Syeikh hasyim Asy’ari.
Latar belakang
diterimanya pemikiran Gus Dur di kalangan kiai, diantaranya, karena Gus Dur
menguasai cabang-cabang ilmu yang ada di Pondok Pesantren, misalnya ilmu
alat(nahwu), fiqh, dan tasawuf. Dan juga karena sangkut paut hubungan kiai dan
santri dalam pesantren. sampai pada massalah syair-syair, dari syair jahiliyah
sampai syair abbasiyah, dari nama penyair sampai isi syairnya , Gus Dur banyak
hapal. Saya juga dalam hal syair-syair yang aneh, dari yang sufi sampai yang
yang paling jorok kadang hapal. Tapi, kalau ngobrol sam Gus Dur mengenai syair,
ada saja syair yang ternyata belum saya ketahui. Mulai dari yang aneh isi dan tulisannya,
nyatanya Gus Dur tahu syair-syair yang seperti itu. Ada juga ilmu yang sangat
Gus Dur dalami, yaitu fiqih dan tasawuf. Pokoknya bicara apa saja nyambung.
Ketika kita ingin mengadu argumentasi atau pemikiran dengan Gus Dur, kita jadi
minder duluan. Karena, Gus Dur sering memberokan alasan-alasan yang tak terduga
sebelumnya.
Kelemahan Gus Dur selama ini terdapat
dalam setiap mengartikulasikan produk pemikiran pada tataran teknis aplikatif.
Ia sering tidak memperhitungkan, atau tidak memperdulikan tanggapan orang lain.
Masyarakat ngerti atau tidak terhadap pemikiran yang Ia lontarkan, Gus Dur
bersikap masa bodoh. Padahal hidup di dunia itu kan tidak sendirian, tidak
semestinya Dia seperti itu. Yang terjadi memang, ketika mengajak orang awam
untuk maju, kita tersandung oleh kesulitan memahami dan menafsirkan lontaran
pemikran Gus Dur. Akhirnya ambivalensi terjadi ketika kita hendak memajukan
orang awam. Kalau Gus Dur sendiri jelas sudah maju, tapi lagi-lagi kalau
disampaikan kepada Gus Dur, Ia menjawab, “kalau tidak dipaksa-paksa malah tidak
maju-maju.”
bersambung...
(tulisan ini
merupakan hasil transkrip wawancara saudara Marzuki Wahid dengan alm KH.MA.
Fuad Hasyim.../Pengasuh Pon.Pest. Nadwatul Ummah Buntet Pesantren Cirebon).